Katanya dulu pernah coba bikin-bikin grafiti. itu bener ga tuh?
Nggak benar. Yang ada, dulu jaman SMP dan SMA, suka vandal tembok-tembok saja dengan nama-nama band kesukaan, LOL! Pas masih SMA dulu sekali pernah ikut lomba graffiti di SMAN 2 Bandung, dan jadi juara pertama. Temanya, Kebangkitan Pancasila. DOUBLE LOL! Selalu ingin membuat graffiti tapi niatnya rupanya nggak sebesar itu, jadinya tetap membuat artwork di kertas dan digital. Sekarang pun waktu yang gue miliki semakin terbatas. Kalau sekarang, gue suka memproduksi stiker saja dan gue tempel-tempel dimanapun.
Kan dulu pernah kuliah senirupa, sebagai seniman yang berlatar belakang akademis (lebih banyak muatan konsep, urusan teknis, dll) gimana sih lo melihat grafiti yang bisa dibilang ‘counter’ dari itu semua?
Rasanya nggak pernah ada masalah kalau dari gue. Gue melihatnya ya sebagai bagian dari seni rupa. Dulu, ketika gue kuliah memang graffiti, ilustrasi-ilustrasi skateboard, seniman poster musik,kustom kulture, stiker, atau cover band metal dan punk belum terlalu dianggap sebagai seni yang mumpuni. Dulu kan ada istilahnya, lowbrow art. Gue inget mendapatkan Juxtapoz Magazine pertama dari Hobbies Skateshop (karena dulu publishernya Juxtapoz sama dengan publisher Thrasher Magazine) itu excited banget. Gue bawa ke kampus dan gue perlihatkan ke beberapa senior di FSRD ITB, eh majalahnya hanya dilihat-lihat sekilas, dan ditaruh di meja. Oleh para senior gue yang mungkin masih old school, lowbrow art nggak terlalu dilirik. Kalau sekarang kan bisa dibilang sudah tidak ada batas antara seni rupa kelas tinggi dan lowbrow art. Yang dulunya lowbrow art dan affordable malah sekarang jadi prestise dan mahal, atau sudah komersil. Gue nggak against commercialized art, hanya memang kini graffiti art sudah berkembang kemana-mana.
Sebagai warga perkotaan yang mungkin waktunya banyak dihabiskan dijalan (kemacetan dll) kehadiran coretan-coretan tagging, blockbuster, yang cenderung semrawut itu ada dampak khusus ga sih (mental, mood, atau bahkan mungkin inspirasi)?
Nah, ini menarik. Kalau gue pribadi yang sekarang tinggal di Jakarta, gue melihat graffiti yang cenderung ‘rame’ diantara tata kota yang berantakan, malah nggak terlalu tertarik atau bagi gue malah biasa saja dan cenderung nggak bagus. Sebagai contoh, mural-mural di tiang-tiang flyover Antasari. Buat gue malah jadi jelek. Sebagai perbandingan, misalnya Singapura. Tata kota dia sangat rapih dan di beberapa tempat agak ‘mati’ karena isinya gedung-gedung, concrete-lah. Tapi tiba-tiba ada graffiti, malah jadi keren, jadi penyegaran mata. Hal yang sama dengan di beberapa kota besar di luar.
Gue kalau ada kesempatan ke luar negeri biasanya menyempatkan datang ke skatepark atau sekedar mendokumentasikan graffiti dan mural jalanan. Kalau di dalam kota, graffitinya biasanya jarang, kecuali daerah anak muda, nampaknya peraturan di kotanya juga lebih loose. Sementara kalau ke pinggiran kota biasanya graffiti semakin mudah terlihat, di selokan besar, skateparks, abandoned buildings. Tiba-tiba lo mengenali graffiti atau mural oleh El Mac atau Retna. Wah, excited banget itu. Sementara kalau di Jakarta, graffiti ada dimana-mana sementara kotanya juga berantakan, jadi jarang banget yang eyecatching, kecuali itu karyanya Darbotz yang somehow selalu eyecatching. Mungkin karena kebanyakan karya dia hitam dan putih. Lainnya jadi agak riweuh ngelihatnya.
Disalah satu media, lo pernah bilang kalo grafiti bisa menjadi semacam ‘penyeimbang visual’ ditengah poster dan baligo promosi politik yang belakangan mulai ramai. Itu menarik. Karena sebenarnya kami tidak pernah secara langsung bertujuan untuk menjadi seperti itu. Kenapa lo bisa punya pemikiran seperti itu?
Seberantak-berantakannya sebuah kota, gue tetap prefer melihat graffiti artwork daripada melihat foto calon pejabat yang gak jelas dan gak guna. Bagusnya sih sekalian divandal ya poster-poster dan baligo politik ini, jadi sebuah kolaborasi ilegal, LOL!
Berbicara Lowbrow, kemudian muncul ‘zine’ sebagai media publikasi dikalangan bawah tanah. Ditengah kemudahan informasi era digital sekarang, kenapa lo masih gemar mengumpulkan zine? apakah hanya karena alasan sentimental saja? impulsif?
Kebiasaan saja. Tidak hanya zine, bahkan rekaman fisik juga gue masih beli, sementara mendengarkan musik dari digital/online streaming juga tidak berhenti. Gue merasa beruntung menjadi Generasi X: merasakan era segala sesuatu adalah produk fisik, dan juga mengalami transisi ketika banyak hal berupa digital.
Jika dalam musik ada kategori Major, Indie, Underground, dll, begitupun di wilayah grafiti. Ketika dilakukan dijalanan, kemudian kegiatan itu dikategorikan Low art atau hanya sekedar vandalisme. Tapi ketika grafiti sudah bisa hadir diantara dinding-dinding galeri, kategori itu bergeser bahkan bisa sejajar dengan seni rupa kontemporer pada umumnya. Menurut lo apa yang membuat kategori-kategori ini muncul? perkara kualitas kah? atau ada hal lain?
Lebih ke seni yang awalnya hanya ada di jalanan menjadi lebih umum, dikenal masyarakat awam dan kemudian dikooptasi oleh korporasi. Apalagi sekarang sudah banyak platform-platform sosial media yang membuat hal-hal ini menjadi lebih umum atau mudah dicari. Semakin bagus artworknya dan bisa diterima oleh masyarakat luas, ya akan semakin umum. Tapi akan selalu ada ‘lawan’nya. Untuk setiap produk artwork Shepard Fairey misalnya, akan ada sebuah underground graffiti.